Tuesday, 29 November 2016

Sejarah Kerajaan Mataram Lama


a.    Sanjaya
    Berdasarkan petunjuk tulisan pada prasasti Canggal yang ditemukan di gunimg Wukir di desa Canggal yang terletak di sebelah barat Magelang, Jawa Tengah, temyata pemah berdiri sebuah kerajaan bernama Mataram. Sedangkan kepercayaan yang dianutnya, adalah agama Hindu. Prasasti tersebut bertuliskan tahun 723 Masehi, menggunakan huruf Pallawa serta menggunakan bahasa Sansakerta. Sedangkan rajanya bernama Sanjaya.
Sebelumnya kerajaan Mataram lama/kuno diperintah oleh seorang raja bernama Sanna. la memerintah sangat bijaksana. Di samping itu, ia pun dikenal sebagai raja yang halus budi pekertinya,  sehingga sangat dicintai oleh rakyatnya. Kerajaan Mataram kaya akan hasil buminya. terutama beras selain tambangnya berupa emas.
Setelah raja Sanna wafat, banyak terjadi kekacauan di dalam negeri. Rakyat seakan-akan kehilangan pegangan. Tetapi. setelah Sanjaya, putra Sannuha. yaitu adik raja Sanna naik tahta, maka kekacauan dalam negeri dapat diatasi. Sanjaya memerintah sangat bijaksana. rakyat kembali merasa tenteram. Raja Sanjaya sangat dicintai serta dihormati oleh rakyatnya. Bahkan, wilayah kekuasaannya semakin meluas.
Nama Sanjaya dan Sanna dijumpai dalam kitab Carita Parahiyangan yang mengisahkan tentang Pasundan. Dikisahkan dalam cerita itu bahwa raja Sanna dari Mataram berhasil dikalahkan oleh raja Purbarosa dari kerajaan Galuh, Jawa Barat. Di mana raja Sanna melarikan diri ke salah satu daerah di gunung Merapi.
Tetapi. setelah raja Sanjaya menggantikan raja Sanna sebagai raja Mataram, maka ia berhasil merebut kembali kerajaannya dari tangan raja Galuh tersebut.
Setelah prasasti Canggal, tidak diketemukan lagi prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Mataram yang juga disebut Medang tersebut. Baru kemudian sebuah prasasti di desa Kalasan arah timur Yogyakarta bertuliskan 778 Masehi. Prasasti itu ditulis menggunakan huruf Pranagari dalam bahasa Sansakerta yang kemudian disebut sebagai Prasasti Kalasan.

b.    Tejapurnapana Panangkarana
Prasasti Kalasan menceritakan para pendeta yang memohon kepada maharaja Tejapurnapana Panangkarana untuk mendirikan bangunan suci untuk dewi Tara serta sebuah biara untuk pendeta dari dinasti Syailendra. Kemudian raja Tejapurnapana Pananakarana menghadiahkan sebuah desa Kalasan untuk para pendeta Budha tersebut. Dalam prasasti Kalasan disebutkan pula bahwa raja Tejapurnapana Panangkarana adalah putra Sanjaya. Tempat yang dibangun untuk pemujaan dewi Tara kemudian dikenal dengan sebutan candi Kalasan.
Raja Tejapurnapana Panangkarana yang dalam prasasti Balitung bergelar Sri Maharaja Rakai Panangkan. Dalam pemerintahannya agama Budha mulai tumbuh dan berkembang di Jawa Tengah. Keluarga keturunan Tejapurnapana Panangkarana ada yang sudah beralih dari agama Hindu ke agama Budha dan ada pula yang masih menganut agama Hindu.
 Raja dari dinasti Syailendra yang beragama Budha berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Sedang dinasti Sanjaya yang masih tetap menganut agama Hindu  berkuasa di daerah pegunungan Dieng.
Meskipun keluarga Syailendra beragama Budha, tetapi nampaknya hubungan dengan keluarga Sanjaya yang beragama Hindu cukup harmonis sekali. Padahal antara dua agama tersebut di India sebagai tempat kelahirannya, saling bermusuhan satu sama lainnya. Ini menandakan bahwa jiwa toleransi saling menghargai sesama bangsa Indonesia sudah ada sejak dahulu. Bahkan kita sekarang, khususnya para pelajar perlu menjunjung serta menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang memang sudah menjadi tekad bersama. Hal ini sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang berarti walaupun berbeda-beda tetap satu juga.
Raja-raja dari dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa Tengah dan menganut agama Budha diantaranya raja Bhanu, Wisnu (Sri Dharmatungga), Indra (Sri Sangradananjaya), Samaratungga dan Balaputra berhasil memegang tampuk pemerintahan lebih kurang satu abad (750 sampai 850 M). Pada waktu itu memang merupakan masa jayanya agama Budha. Hal ini terbukti dengan banyaknya dibangun candi-candi, seperti Candi Sewu, Candi Pawon, Candi Mendut, serta Candi Borobudur.
Di kemudian hari Candi Borobudur dianggap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga kira-kira tahun  850 Masehi.
Begitu pula dengan raja-raja dari dinasti Sanjaya, yang menganut agama Hindu tidak ketinggalan mendirikan tempat-tempat persembahan yang dianggap suci.
 Tempat-tempat persembahan itu terletak di daerah pegunungan Dieng, di antaranya Candi Arjuna dan Candi Bima.
Bukti hubungan harmonis mereka yaitu dengan dibangunnya tempat-tempat suci lainnya seperti pembangunan candi Kalasan dan candi Ngawen yang berada di daerah Magelang, Jawa Tengah. Candi-candi itu sebagai tempat pemujaan mereka secara bergantian, yaitu antara penganut agama Budha  dan penganut agama Hindu.

c.   Sri Maharaja Rakai Pikatan
Pada pertengahan tahun 800 Masehi kedua dinasti Syailendra dan Sanjaya bersatu, karena adanya perkawinan antara Sri Maharaja Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya dengan Pramodardhani, dinasti Syailendra. Setelah terjadi pemikahan tersebut Pramodardhani kemudian bergelar Sn Khahulunan. Kemudian .apun mendinkan tempat suci agama Budha seperti candi Plaosan dekat desa Prambanan  Jawa Tengah Selain itu ia juga mendirikan sebuah bangunan suci untuk memuliakan arwah nenek moyang. Bangunan suci tersebut  bernama Kamulan Bhumisambhara yang kemudian dikenal sebagai  candi Borobudur. Selanjutnya candi Borobudur in, dapat diselesaikan pembangunannya pada masa pemerintahan raja  Samaratungga, ayah  Sri Maharaja Rakai Pikatan berhasil pula mendirikan bangunan suci agam Hindu, yakni candi Lorojongrang di desa Prambanan.
Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Pikatan terjadi pemberontakan. Pemberontakan itu dilakukan oleh adik Pramowardhani, seayah lain ibu bernama Balaputra. Alasan pemberontakan karena tidak menyetujui kakaknya menikah dengan Sri Maharaja Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Tetapi, pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan setelah benteng pertahanannya di bukit Ratu dihancurkan. Balaputra kemudian melarikan diri ke Sriwijaya yang saat itu merupakan daerah kekuasaan dinasti Syailendra, yang akhirnya membawa dirinya ke tampuk pimpinan sebagai raja Sriwijaya yang kemudian bergelar Balaputradewa.
Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Pikatan semakin memperluas daerah kekuasaanya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah  dan Jawa Timur. Kemudian beliau digantikan oleh Rakai Kayuwangi  yang selanjutnya bergelar Sri Maharaja Sri Sajanotsawatungga dari tahun 856 Masehi sampai tahun 866 Masehi. Beliau penganut agama Hindu yang berarti dinasti Sanjaya berhasil berkuasa kembali. Sri Sajanotsawatungga selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama Rakai Watuhumalang. Mataram kuno lebih kurang 12 tahun diperintah oleh putra Rakai Watuhumalang yang bernama Rakai Watu kara Dyah Balitung. Raja inilah yang memerintahkan untuk membuat silsilah/susunan  raja-raja Mataram  kuno yang dimulai  dari  raja Sanjaya sebagai pendirinya.

d.   Rakai Watukara Dyah Balitung
Raja Rakai Watukara Dyah balitung memerintah dari tahun 889 Masehi sampai tahun 910 Masehi. Beliau adalah raja yang sangat terkenal di antara raja-raja Mataram, Hal ini berkat kemampuannya mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan prasasti yang dibuat pada masa pemerintahannya cukup banyak, kurang lebih 20 buah yang bisa dilihat atau dijumpai di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Dari prasasti-prasasti itu dapat diketahui bahwa kekuasaan raja Balitung meliputi Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur.
Dari sekian banyak prasasti itu, yang menarik para ahli sejarah, yaitu prasasti Kedu bertuliskan tahun 907 Masehi. Prasasti Kedu berisi tentang silsilah/susunan raja-raja Mataram kuno yang dimulai dari pendirinya, yaitu raja Sanjaya.
Selain dikenal sebagai raja Mataram kuno, karena kepemimpinannya yang sangat bijaksana. Raja Rakai Watukara Dyah Balitung  juga menganjurkan untuk membangun kompleks candi Lorojongrang  Candi tersebut baru dapat diselesaikan pada waktu pemerintahan raja Daksa yang menggantikannya.
Pada waktu pemerintahan rajak Rakai Watukara Dyah Balitung dikenal pula jabatan-jabatan penting, seperti Rakryani Hino (suatu jabatan tertinggi sesudah raja). Di samping itu dikenal pula dua jabatan tinggi dalam pemerintahannya seperti Rakryani Sirikan dan Rakryani Halu.
Raja Rakai Watukara Dyah Balitung digantikan oleh raja Daksa pada tahun 910 Masehi. Sedangkan pada waktu Raja Rakai Watukara  Dyah Balitung berkuasa sebagai raja Mataram, Daksa menjabat se bagai Rakryani Hino.
Raja Daksa memerintah dari tahun 910 Masehi sampai 919 Masehi. Kemudian raja Daksa digantikan oleh Tulodong pada tahun 919 Masehi.  Semasa pemerintahan raja Tulodong lebih mengutamakan daerah Jawa Timur dari pada Jawa Tengah. Berita tentang raja Tulodong kurang begitu dikenal. Walaupun begitu beliau adalah raja terakhir yang meninggalkan prasasti, baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah. Pengganti raja Tulodong, yaitu raja Wawa yang kemudian bergelar  sebagai  Sri  Wijayalokanamottungga.  Raja  Wawa  memerintah dari tahun 924 Masehi sampai tahun 929 Masehi. Beliau meninggalkan prasasti yang hanya ditemukan di Jawa Timur.
Pusat kerajaan Mataram kemudian dipindahkan ke Jawa Timur sejak pemerintahan dinasti Isana. Berarti kekuasaan dinasti Syailendra berakhir, kemudian berpindah ke tangan Mpu Sindok dari dinasti Isana. Perpindahan kekuasaan ini besar kemungkinan melalui tari perkawinan. Sedangkan pemindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur kemungkinan juga karena adanya ancaman dari kerajaan Sriwijaya.

No comments:

Post a Comment