Wednesday, 26 October 2016
berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mengubah ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
PADA tanggal 2 Januari 1950, HM Hirschfeld, Komisaris Tinggi (kepala perwakilan) Belanda pertama di Indonesia merdeka, telah diterima dengan penghormatan penuh oleh Presiden Soekarno, karena di antara para kepala perwakilan negara asing yang diizinkan di Indonesia, Hirschfeld diberikan kehormatan untuk menyerahkan surat kepercayaan pertama kepada Presiden Soekarno. Tempat terkemuka yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada Belanda juga tercermin pada nomor pelat yang diberikan kepada kendaraan mobil yang ditumpanginya, yaitu CD-1. (Meier 1994: 13) Akan tetapi, hanya sepuluh tahun sesudah peristiwa tersebut, tanggal 17 Agustus 1960, J van Vixseboxse, kuasa usaha baru Belanda yang baru saja tiba di Indonesia tanggal 5 Agustus 1960, diminta untuk datang pagi hari ke Departemen Luar Negeri. Di sana Vixseboxse diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri bahwa ia tidak perlu menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Soekarno. Sebab, Presiden Soekarno dalam pidato tahunannya yang akan diucapkan siang itu di Istana Merdeka akan mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda karena “tindakan agresif Belanda mengenai Irian Barat”. Yang dimaksud Presiden Soekarno dengan “tindakan agresif Belanda” adalah pengiriman kapal induk Karel Doorman oleh Pemerintah Belanda untuk memperkuat pertahanan Irian Barat. (Meier 1994: 607)
Kedua peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1947 (atau “penyerahan kedaulatan kepada Indonesia” menurut tafsiran Belanda) tidak berhasil membawa perbaikan yang berarti dalam hubungan antara negara bekas penjajah dan bekas jajahannya, malahan terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya proses dekolonisasi Indonesia belum dapat diselesaikan dengan tuntas dalam Konferensi Meja Bundar antara Belanda dan Indonesia yang diadakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 untuk merundingkan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Dengan kata lain, kemerdekaan politik Indonesia belum berhasil memutuskan segala ikatan historis dengan Belanda, baik dalam arti politis dan ekonomi, dan mungkin juga dalam arti budaya dan psikologi.
Dalam arti politis, kemerdekaan Indonesia belum dianggap tuntas karena dalam Konferensi Meja Bundar Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, yang menurut Belanda, sebenarnya bukan termasuk wilayah Indonesia. (Houben 1996: 174-75) Dihadapi dengan jalan buntu, Indonesia dan Belanda sepakat bahwa status quo Irian Barat untuk sementara dipertahankan, tetapi juga bahwa dalam waktu satu tahun status daerah ini akan ditentukan lebih lanjut melalui perundingan. (Legge 1973: 238)
Akan tetapi, dalam perundingan berikutnya Belanda tetap enggan untuk menyerahkan Irian Barat. Oleh karena hal ini Soekarno berpendapat bahwa revolusi nasional belum selesai dan perlu diteruskan sampai Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.
Dalam tahun-tahun berikutnya, Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat adalah prioritas utama dalam kebijakan nasional Pemerintah Indonesia. Meskipun pemimpin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang Irian Barat dibahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik biasa, karena Indonesia pada waktu itu menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah ekonomi, yang perlu segera ditanggulangi. (Legge 1973: 248)
Dalam tahun-tahun berikutnya, memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat.
Akar-akar nasionalisme ekonomi Indonesia
Selain masalah Irian Barat, kemerdekaan Indonesia sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda belum dirasakan sebagai tuntas oleh para pejuang kemerdekaan, karena berbagai sektor ekonomi yang penting masih dikuasai Belanda, sedangkan berbagai jabatan penting dalam birokrasi pemerintah masih dipegang oleh pejabat-pejabat Belanda. Hal ini bisa terjadi karena dalam rangka persetujuan Indonesia-Belanda yang telah dicapai dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, kepentingan bisnis Belanda tetap dijamin dalam Indonesia merdeka.
Pembicaraan tentang kelangsungan bisnis Belanda telah menyita banyak waktu dalam Konferensi Meja Bundar, karena pada tahun 1949 pembangunan ekonomi Belanda-yang mengalami banyak kerusakan selama Perang Dunia Kedua-belum selesai. Berhubung dengan hal ini Pemerintah Belanda menganggap penting bahwa penghasilan dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia perlu diamankan, karena penghasilan ini merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan ekonomi Belanda. (Meier 1994: 46)
Dalam Persetujuan Finansial-Ekonomi yang telah dicapai di Konferensi Meja Bundar, tuntutan Belanda untuk memperoleh jaminan bahwa bisnis Belanda dapat tetap beroperasi di Indonesia tanpa hambatan, terpaksa dipenuhi oleh pihak Indonesia. Oleh karena ini tidak mengherankan bahwa bahkan seorang sejarawan ekonomi Belanda yang konservatif, Henri Baudet, menyatakan bahwa Persetujuan Finec memuat jaminan maksimal yang dapat dicapai bagi kelangsungan hidup bisnis Belanda di Indonesia. (Baudet & Fennema, 1983: 213)
Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda. Untuk tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1957 sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). (Meier 1994: 649).
Penurunan dalam arti ekonomi Indonesia bagi Belanda sejak tahun 1953 berkaitan erat dengan merosotnya hubungan ekonomi Indonesia-Belanda akibat merosotnya hubungan diplomatik dengan Belanda.
Di samping jaminan ini, Persetujuan Finec juga memuat ketentuan yang kontroversial yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menanggung utang-utang internal Pemerintah Hindia Belanda sebelum Indonesia diduduki Jepang tahun 1942 sebanyak 3,3 milyar gulden (sama dengan 1,13 milyar dollar AS pada kurs devisa yang berlaku pada waktu itu). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan menanggung utang eksternal Pemerintah Hindia Belanda sebesar kurang lebih 70 juta dollar AS. (Meier 1994: 47; McT. Kahin 1997: 26; 314)
Jelas sekali bahwa Konferensi Meja Bundar “mewarisi” utang luar negeri yang amat besar kepada Pemerintah Indonesia yang sangat mempersulit upaya Pemerintah Indonesia untuk membiayai rehabilitasi prasarana fisik yang telah hancur akibat pendudukan Jepang dan perjuangan fisik melawan Belanda, apalagi melaksanakan program pembangunan. (Kahin 1997: 27)
Oleh karena itu, Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang ikut sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, sangat menentang konsesi delegasi Indonesia untuk mengambil alih utang-utang dari Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Drs Moh Hatta, Wakil Presiden RI yang bertindak sebagai ketua delegasi Indonesia, akhirnya menerima tuntutan pihak Belanda karena ia ingin cepat menyelesaikan perundingan agar tujuan utama-penyerahan kedaulatan kepada Indonesia-dapat tercapai dalam waktu sesingkatnya. (Esmara & Cahyono, 2000: 95-98)
Perkembangan ini pada awal kemerdekaan menyebabkan nasionalisme ekonomi di Indonesia jauh lebih kuat ketimbang di negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan hingga sekarang. Jika nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi sesuatu bangsa untuk memiliki atau setidak-tidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai orang asing dan untuk menduduki fungsi-fungsi ekonomi yang dilakukan oleh orang asing (Johnson 1972: 26), maka tidak mengherankan nasionalisme ekonomi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan sangat tersentak oleh kenyataan bahwa bagian terbesar dari sektor-sektor modern Indonesia (perkebunan-perkebunan besar, pertambangan, industri-industri padat modal skala besar, dan sektor jasa-jasa modern, seperti perbankan, perdagangan besar, dan jasa-jasa pelayanan publik, seperti listrik, air, gas, komunikasi, dan transport)-diperkirakan meliputi 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada waktu itu dan mempekerjakan kurang lebih 10 persen dari angkatan kerja Indonesia-masih dimiliki atau dikuasai Belanda. (Higgins 1990: 40)
Di samping itu, banyak jabatan senior dan penting lainnya di birokrasi Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an masih diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda, yang pada waktu itu masih berjumlah kurang lebih 6.000 orang. Misalnya, jabatan Gubernur Bank Java (Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia) dan Kepala Direktorat Dewan Pengendalian Devisa masih tetap dipegang orang-orang Belanda.(Higgins 1990: 40)
Malahan dalam Dewan Direktur Bank Java hanya terdapat satu direktur Indonesia, sedangkan yang lainnya semua masih orang Belanda. Di Departemen Keuangan pun masih ada banyak pejabat Belanda. Menghadapi keadaan ini, tidak mengherankan aspirasi utama nasionalisme ekonomi Indonesia pada waktu itu adalah untuk “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”, di mana orang-orang Indonesia menjadi ‘tuan di rumah sendiri’.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment