Wednesday, 26 October 2016

Kebijakan ekonomi selama kurun waktu 1950-1957


Dihadapi dengan tatanan ekonomi yang masih tetap “kolonial”, Pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah untuk menguasai dan mengendalikan berbagai sektor dan usaha yang dianggap strategis. Misalnya, pada tahun 1953 Bank Java dinasionalisasikan dan diberi nama baru “Bank Indonesia”. Sebagai Gubernur orang Indonesia pertama dari Bank Indonesia diangkat Sjafruddin Prawiranegara, mantan Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta dan Kabinet Natsir. (Prawiranegara 1987: 102-03)
Nasionalisasi Bank Java ini dianggap penting sekali, karena pengendalian peredaran uang dan kredit memang diakui sebagai unsur pokok dari kedaulatan sesuatu negara. (Anspach 1969: 137)
Sebenarnya Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an agak enggan melakukan nasionalisasi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan Belanda, karena merasa terikat dengan Persetujuan Finec hasil Konferensi Meja Bundar. Keengganan ini juga disebabkan kabinet-kabinet pertama pada paruh pertama tahun 1950-an (Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, dan Kabinet Wilopo) pada umumya masih terdiri atas orang-orang nasionalis moderat dan pragmatis yang menyadari bahwa peran penting perusahaan-perusahaan dan pejabat-pejabat Belanda, meskipun tidak menyenangkan, masih diperlukan untuk sementara waktu.
Meskipun demikian, pada akhir tahun 1952 Kabinet Wilopo mengambil keputusan tegas untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik swasta Belanda. (Anspach 1969: 145)
Menurut persetujuan Finec, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda bisa dilakukan jika hal ini dianggap perlu untuk kepentingan nasional dan disetujui oleh kedua belah pihak. Di samping itu jumlah kompensasi harus diputuskan oleh seorang hakim atas dasar nilai riil usaha yang dinasionalisasikan. (Meier 1994: 46-47)
Selain nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik, Pemerintah Indonesia atas desakan keras golongan nasionalis pada tahun 1954 juga menasionalisasikan perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways yang didirikan pada tahun 1950 sebagai usaha patungan antara perusahaan penerbangan Belanda KLM dan Pemerintah Indonesia. Dalam usaha itu kedua belah pihak masing-masing memegang 50 persen saham dari perusahaan ini. Dalam akta pendirian Garuda, Pemerintah Indonesia diberi opsi untuk membeli saham mayoritas sesudah 10 tahun, sedangkan pengendalian manajemen dipegang oleh KLM.
Dalam tahun-tahun berikutnya KLM mulai menjual sebagian dari sahamnya kepada Pemerintah Indonesia, tetapi di lain pihak KLM enggan sekali menyerahkan pengendalian manajemen kepada pihak Indonesia. Akan tetapi, nasionalisasi Garuda oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dibarengi juga dengan pengambilalihan pengendalian manajemen oleh pihak Indonesia. Sejak itu peran KLM hanya terbatas pada pemberian bantuan teknis kepada Garuda. (Anspach 1969: 146)
Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah, tetapi kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia. (Anspach 1969: 163)
Gagasan tentang peran perintis Pemerintah Indonesia dalam industrialisasi Indonesia agak mirip dengan peran yang dilakukan Pemerintah Jepang selama tahap awal industrialisasi Jepang selama zaman Meiji. Sayang sekali, pelaksanaan Rencana Urgensi Ekonomi berjalan tersendat-sendat, dan pabrik-pabrik yang sempat dibangun beroperasi dengan hasil yang mengecewakan. Oleh karena itu, rencana ini dihapus pada tahun 1956 dan diganti dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (1955-1960) yang telah disusun oleh Biro Perancang Negara yang dipimpin oleh Ir Djuanda. (Anspach 1969: 163)
Untuk menyusun kekuatan tandingan terhadap kepentingan ekonomi Belanda, Pemerintah Indonesia pada tahun 1950 meluncurkan Program Benteng. (Djojohadikusumo 1986: 35)
Hal ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan dengan menempatkan sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor, di bawah pengendalian nasional. Untuk mencapai tujuan ini, lisensi-lisensi impor disalurkan ke pengusaha-pengusaha nasional, khususnya pengusaha-pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk dari perdagangan impor, para pengusaha pribumi Indonesia mampu melakukan diversifikasi ke bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi, dan industri-industri substitusi impor, seperti yang dirintis beberapa perusahaan pribumi, misalnya perusahaan milik Dasaad Musin dan Rahman Tamin. (Anspach 1969: 168)
Ditinjau dari segi pengendalian nasional atas perdagangan impor, Program Benteng cukup berhasil karena pada pertengahan tahun 1950-an kurang lebih 70 persen dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. (Burger 1975: 171)
Namun, dalam waktu singkat sudah kelihatan bahwa Program Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan munculnya banyak ‘importir aktentas’, yaitu orang yang tidak memanfaatkan peluang baik untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir etnis Cina.
Dengan demikian, Program Benteng justru membuka peluang bagi ‘kegiatan perburuan rente sehingga kurang berhasil dalam mengembangkan golongan wiraswasta nasional sejati yang tangguh dan mandiri. Hal ini sebenarnya sejak awal sudah disadari oleh Profesor Sumitro, salah seorang arsitek Program Benteng, yang dalam suatu wawancara pernah menyatakan bahwa jika “dari bantuan dari Program ini kepada 10 orang, tujuh orang ternyata adalah benalu, tiga orang lainnya masih bisa muncul sebagai wiraswasta sejati”. (Djojohadikusumo 1986: 35)
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada Program Benteng mendorong Pemerintah Indonesia mengadakan penyaringan ketat untuk mengeliminasi importir semu atau tidak mampu. Akibat penyaringan ini jumlah importir yang terdaftar berhasil dikurangi, dari 4.300 sampai kurang lebih 2.000. (Burger 1975: 171)
Akan tetapi, perkembangan politik dalam negeri setelah pertengahan tahun 1950-an, khususnya pergolakan di daerah, mengalihkan perhatian pemerintah kepada bahaya perpecahan bangsa. Penyelundupan komoditas-komoditas ekspor dari daerah-daerah luar Jawa mengakibatkan pasokan devisa bagi Pemerintah Indonesia banyak berkurang sehingga mengurangi devisa untuk menunjang Program Benteng. Hal ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia menghapus Program Benteng. Karena Program Benteng ini dianggap sebagai upaya pokok utuk pengembangan wiraswasta nasional, maka kegagalan Program Benteng menciptakan iklim yang makin condong untuk menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswasta nasional. (Anspach 1969: 179)
Sementara itu, hubungan dengan Belanda makin merosot akibat pertikaian tentang Irian Barat. Rasa permusuhan terhadap Belanda makin memuncak sewaktu Sidang Umum PBB pada akhir November 1957 gagal menerima mosi Indonesia yang mendesak Belanda merundingkan status Irian Barat dengan Indonesia. Presiden Soekarno memberikan reaksi keras terhadap putusan ini, dan mengimbau rakyat Indonesia untuk membangun kekuatan yang dapat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat. Dalam waktu dekat suatu kampanye raksasa muncul di Jakarta dan di tempat-tempat lain terhadap perusahaan-perusahaan dan milik Belanda lainnya, yang berakhir dengan pengambilalihan semua perusahaan Belanda. Meskipun dalam kampanye waktu itu tidak ada seorang Belanda pun hilang nyawanya, namun dalam waktu singkat puluhan ribu orang Belanda meninggalkan Indonesia. (Legge 1973: 292-93)
Aksi massa untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda menjadikan Pemerintah Indonesia mengambil alih pengendalian atas perusahaan-perusahaan Belanda. Untuk mengendalikan perkembangan yang memprihatinkan, pemerintah memutuskan mengambil alih pengendalian atas perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih massa. (Legge 1973: 293-94)
Pada tahun 1958, perusahaan-perusahaan Belanda ini dinasionalisasikan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, dan diubah statusnya menjadi perusahaan negara. Dengan kejadian ini, setelah beroperasi selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia, seluruh bisnis Belanda hengkang dari Indonesia.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda untuk sebagian besar memang berhasil memenuhi aspirasi nasionalisme ekonomi Indonesia untuk “menjadi tuan di rumahsendiri”. Di samping itu tidak dapat disangkal bahwa dengan tetap bercokolnya bisnis Belanda, ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk merombak struktur kepemilikan ekonomi kolonial menjadi sangat terbatas. Selain kekurangan dana untuk membayar kompensasi kepada perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan, pada waktu itu belum ada cukup wiraswasta dan manajer nasional yang dapat mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan. (Glassburner 1971: 94)
Memang di atas kertas, Pemerintah Indonesia secara gradual dapat mengembangkan suatu golongan wiraswasta nasional dan manajer profesional yang cukup tangguh.
Pengembangan wiraswasta nasional diusahakan melalui Program Benteng, tetapi program ini, dengan beberapa pengecualian, telah gagal dalam mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh. Manajer-manajer profesional diharapkan dapat muncul dari kalangan manajer Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Jika keadaan politik pada waktu itu telah mengizinkan, maka perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan sebenarnya juga dapat menarik manajer-manajer Indonesia keturunan Cina yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik pengusaha etnik Cina, seperti dilakukan pimpinan Central Trading Company (CTC), perusahaan dagang milik negara pertama yang telah didirikan di Bukittinggi selama perjuangan fisik melawan Belanda. (Daud 1999: 44-45)
Pentingnya pengembangan sumber daya manusia Indonesia untuk keberhasilan pembangunan nasional Indonesia juga telah ditekankan oleh nasionalis moderat, seperti Sjafruddin Prawiranegara. (1987: 106)
Akan tetapi, tetap berlangsungnya dominasi bisnis Belanda dalam alam Indonesia merdeka dan sikap kaku Pemerintah Belanda yang terus menolak merundingkan status Irian Barat tidak memberikan peluang bagi pemimpin-pemimpin moderat-seperti Moh Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, dan Djuanda-untuk menempuh kebijakan yang gradual dan hati-hati, dan akhirnya memberikan peluang bagi pemimpin yang lebih radikal, terutama Presiden Soekarno, untuk menempuh kebijakan yang konfrontatif yang berakhir dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Langkah ini tidak berhasil memecahkan berbagai masalah ekonomi gawat yang dihadapi Indonesia pada waktu itu, terutama laju inflasi yang tinggi akibat pembiayaan defisit anggaran pemerintah yang besar yang disebabkan oleh displin fiskal yang lemah dan merajalelanya pasar gelap devisa karena apresiasi riil rupiah yang diakibatkan oleh laju inflasi yang tinggi. Keadaan ini juga memaksa Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang makin besar pada pengendalian jumlah cadangan devisa dan emas yang terbatas sehingga masalah-masalah ekonomi lainnya diabaikan. (Mackie 1971: 58-67)
Lagi pula, vakum ekonomi yang telah ditinggalkan oleh hengkangnya pengusaha-pengusaha Belanda dengan cepat diisi oleh pengusaha-pengusaha Indonesia keturunan Cina dan etnis lainnya, dan bukan oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam perkembangan selanjutnya hal ini akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi baru, terutama selama masa Orde Baru, yang hingga kini pun masih belum dapat dipecahkan dengan tuntas. Suatu masalah lain adalah bahwa dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, Pemerintah Indonesia dalam sekejap mata memiliki ratusan perusahaan negara baru, hal mana memang telah sangat memperbesar pengendalian nasional atas berbagai sektor ekonomi yang strategis maupun yang kurang strategis. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya perusahaan-perusahaan negara (kini disebut BUMN), terutama selama Orde Baru, telah membuka peluang bagus untuk praktik-praktik KKN, khususnya dengan menjadikannya sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum pemerintah yang korup. Dengan demikian, banyak perusahaan negara tidak bisa beroperasi secara efisien dan menghasilkan penerimaan yang berarti bagi kas negara, malahan sering harus diberikan subsidi oleh pemerintah.
Tidak mengherankan bahwa dalam program reformasi ekonomi Indonesia yang digulirkan setelah krisis ekonomi Asia tahun 1997/98, privatisasi BUMN merupakan salah satu prioritas pemerintah, meskipun pelaksanaannya lamban sekali.

No comments:

Post a Comment